Home PARIWARA DP3AP2KB PPU DP3AP2KB PPU: Cegah Perkawinan Usia Anak, Benyuk Pola Asuh yang Positif di...

DP3AP2KB PPU: Cegah Perkawinan Usia Anak, Benyuk Pola Asuh yang Positif di Keluarga

0
(Grafis DP3AP2KB PPU)

(Grafis DP3AP2KB PPU)

PPU – Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Penajam Paser Utara (PPU) terus berupaya untuk mencegah tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak. Salah satunya ialah menekankann pada masyarakat tentang usiap perkawinan yang ideal untuk membentuk pola asuh yang positif.

Berdasarkan data Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Badilag) 2022, ada sebanyak 50.673 dispensasi perkawinan yang diputus. Sedikit lebih rendah 17,54 persen dibandingkan pada 2021 yaitu sebanyak 61.449 kasus.

Sementara data perkawinan anak di Provinsi Kalimantan Timur menunjukkan angka yang fluktuatif. Yakni di 2018 sebanyak 953 anak, 2019 sebanyak 845 anak dan 2020 meningkat kembali sebanyak 1159 anak.

Pada 2021, angka perkawinan usia anak mengalami sedikit penurunan yakni 70 anak, sehingga menjadi 1089 anak. Pada Tahun 2022 terjadi penurunan lagi yang cukup signifikan sebanyak 309 anak, yakni 780 anak dengan anak perempuan sebanyak 633 dan anak laki-laki sebanyak 147 anak.

Analis Perlindungan Perempuan di Bidang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak dan Perempuan (PPHAP) DP3AP2KB PPU, Nadhiratul Amalia menjelaskan dengan adanya penurunan angka perkawinan usia anak yang terus diupayakan. Diharapkan ini bisa sejalan dengan mandat yang diamanahkan Presiden Jokowi dalam RPJMN 2020-2024 dan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA).

“Dalam Stranas PPA, pemerintah secara spesifik menargetkan penurunan angka perkawinan usia anak dari 11,21 persen (2018) menjadi 8,74 persen pada akhir tahun 2024 dan 6,9 persen pada 2030,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Selain itu, pemerintah juga telah merubah batas usia minimal untuk perkawinan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Melalui Undang-Undang 16/2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang 1/1974 tentang Perkawinan.

Lalu kemudian melalui Instruksi Gubernur Nomor: 463/5665/III/DKP3A Tahun 2019 Tentang Pencegahan dan Penanganan Perkawinan Usia Anak. “Dalam Sustainable Development Goals (SDGs), pencegahan perkawinan anak masuk ke dalam tujuan kelima mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan,” kata Amalia.

Perkawinan anak di Indonesia tidak terlepas dari adanya nilai-nilai yang tertanam di masyarakat Indonesia sejak lama yang mendukung atau menormalisasi perkawinan anak. Seperti perspektif agama yang berpandangan bahwa menikah adalah cara untuk mencegah terjadinya perbuatan zina.

Kemudian perspektif keluarga yang berpandangan bahwa perkawinan anak sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun. Sehingga tidak menjadi masalah jika hal serupa tetap dilakukan dan perspektif komunitas yang beranggapan bahwa perempuan tidak perlu menempuh pendidikan tinggi.

“Pandangan-pandangan ini menjadikan perkawinan anak direstui dan difasilitasi oleh orangtua, keluarga dan masyarakat,” sebutnya.

Tingginya angka perkawinan anak adalah salah satu ancaman bagi terpenuhinya hak-hak dasar anak, dan berdampak secara fisik serta psikis bagi anak-anak. Bahkan dapat memperparah tingginya angka kemiskinan, stunting, putus sekolah dan penyakit berbahaya.

“Salah satu kunci penting dengan pengasuhan yang positif bagi anak oleh orang tua dan lingkungan masyarakat, sehingga dapat menentukan baik buruknya karakter seorang anak kelak,” tutup Amalia. (ADV/RM)

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version