spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Hamdam Pongrewa Si Perantau Ulung Asal Timur (Bagian 1)

SATU hari sebelum pergantian tahun dari 1965 ke 1966, lahirlah seorang tokoh yang mungkin tidak disangkakan akan menjadi tokoh besar di sebuah kabupaten di Kalimantan Timur. Hamdam Pongrewa, seorang tokoh, politisi, bapak dan kakek yang lahir pada 31 Desember 1965.

Hamdam yang merupakan mantan Bupati Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) Periode 2022 – 2023 ini mengisahkan perjalanan hidupnya selama kurang lebih 58 tahun berkelana dari suatu daerah di Pulau Sulawesi, tepatnya Sulawesi Selatan, Kabupaten Luwu, Desa Padang Sappa. Walaupun lahir di Kabupaten yang terkenal sebagai penghasil rempah ini, Hamdam merupakan darah campuran Toraja yang berasal dari ayahnya.

Dasarnya, keluarganya merupakan perantau ulung dan turun ke dirinya. Hamdam, memulai perantauannya usai menyelesaikan SD dan SMP di Kabupaten Luwu, Ia merantau ke Kota Palopo yang sekarang menjadi kota otonom. Dahulu kota ini masih merupakan ibu kota dari Kabupaten Luwu.

“Sejak usia SD, Ayah saya sudah merantau ke Luwu untuk bersekolah dan memilih menetap di sana (Kabupaten Luwu),” ungkapnya sambil menyeruput kopi hitam panas yang baru saja dituang.

Berpindah menjadi pilihan yang terelakkan, dikarenakan dirinya ingin melanjutkan sekolah ke jenjang SMA dan hanya ada di Kota Palopo. Ia harus menempuh kurang lebih 35 kilometer untuk mencapai sekolahnya saat itu, sehingga opsi merantau dan tinggal dirumah saudara adalah kondisi yang tidak dapat dipilih. Kurang lebih 3 tahun, sejak tahun 1981 – 1984 dirinya menempuh pendidikan SMA.

“Selanjutnya, Saya kuliah ke Makassar, cukup lama, kira-kira 8 tahun waktu yang harus saya habiskan untuk menyelesaikan perkuliahan,” tambahnya.

Hamdam remaja yang sangat ingin berkuliah itu, mengambil jurusan teknik sipil di Universitas Hasanudin. Saat itu, memang kebutuhan tenaga teknis cukup besar, mengingat kebutuhan negara atas insinyur-insinyur didengungkan oleh rezim saat itu.

Menyelesaikan kuliah yang cukup lama pun bukan tanpa alasan, dirinya yang telah menyelesaikan Kuliah Kerja Nyata (KKN) tertarik untuk bekerja dan terlibat dalam pembangunan, sehingga harus mengambil cuti selama 2 tahun.

Baca Juga:   DP3AP2KB PPU Tingkatkan Upaya Mencegah Kekerasan Dalam Rumah Tangga Melalui Edukasi dan Perlindungan

“1989, saya selesai KKN dan ditawari bekerja, sesuai dengan bidang saya. Saya kembali ke kampung untuk proyek percetakan sawah dan percepatan pembangunan untuk membangun jembatan, sampai 1991,” kisahnya.

Dirinya, hampir lupa akan pendidikan yang sedang ditempuh. Tapi, salah satu dosen kembali mengingatkannya untuk meneruskan pendidikan dan menyelesaikannya selagi masih ada waktu. Akhirnya, dirinya kembali ke kampus dan menyelesaikan skripsi, satu tahun setelahnya tepat April 1992 dirinya diwisuda.

“Waktu itu masih insinyur, makanya saya pakai insinyur. saat itu masih langka ya, jadi saya tidak sulit mendapatkan pekerjaan,” kelakarnya.

Kebetulan, relasi yang dirinya bangun cukup baik. Dirinya langsung menerima mandat untuk menyelesaikan proyek di Kota Gorontalo. Dirinya bekerja di pabrik gula PT Nagamanis Plantation, kurang lebih 4 bulan bekerja dan kembali ke Kota Palopo.

“Saya kembali dan patungan bersama kawan-kawan mendirikan perusahaan konsultan. Dengan semangat idealisme membangun daerah, ada 3 orang satu angkatan kami,” terangnya.

Tidak sampai situ, perusahaan yang dibuatnya bersama 2 kawannya mendapatkan proyek pertamanya yaitu melakukan supervisi proyek pemerintah Inpres Peningkatan Jalan Kabupaten (IPJK). Proyek ini dilakukan di seluruh Indonesia, dirinya mendapatkan kepercayaan untuk melakukan pengawasan proyek yang cukup besar, se-Kabupaten Luwu.

“Jabatan saya sebagai Chief Inspector atau ya memantau kerja di lapangan, kurang lebih 2 tahun saya disitu,” kisahnya.

Saat itu, Hamdam Muda merasa pekerjaannya masih belum berkembang, jiwa petualangnya masih ingin terus bertaruh. Akhirnya, dirinya keluar dari perusahaan yang dirinya bersama kawannya dirikan.

Hamdam melihat peluang besar untuk bekerja di Jayapura, Papua. Saat itu, dirinya melihat terdapat perekrutan karyawan yang membutuhkan General Superintendent (GS) salah satu kontraktor di Papua. Tepatnya tahun 1994 dirinya mulai perpindahan ke ujung timur Indonesia dan memulai pertaruhan baru.

Baca Juga:   DP3AP2KB PPU Gelar Advokasi Peningkatan Partisipasi Perempuan dalam PemiluDP3AP2KB PPU Gelar Advokasi Peningkatan Partisipasi Perempuan dalam Pemilu

“Setahun setelahnya saya bertemu permaisuri saya ini di Papua, sekalinya kami satu alumni hanya saat saya sudah lulus, Ibu baru saja masuk,” ungkapnya sambil menyunggingkan senyum mengingat memori pertemuan pertamanya dengan sang Istri.

Saat itu, Hamdam muda bertemu dengan sang pujaan hati saat berjalan menuju proyek pekerjaannya. Ia melihat sosok yang sepertinya berasal dari daerah yang sama. Sang istri, Satriyani saat itu juga sedang mengadu nasib ke Tanah Papua dan mengunjungi keluarganya.

“Ibu itu sedang menjaga warung saat itu dan kami bertemu, sekalinya ya adik tingkat. Saya iseng bertanya awalnya dan juga tidak direspon baik, sejak itu saya semakin sering mampir ke warung tersebut,” kelakarnya.

Akhirnya, tepat di umur 30 tahun, Hamdam muda memutuskan menikah di Sulawesi Selatan pada tahun 1995. Anak pertamanya, Muhammad Bijak Ilhamdani lahir setahun setelahnya, 1996.

“Kondisi yang tidak memungkinkan dan semakin memanas saat itu, akhirnya kami memutuskan untuk pindah. Walaupun Saya mendapat tawaran yang bagus, menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kami sekeluarga balik ke Sulawesi Selatan,” ungkapnya.

Hamdam mengatakan menjaga relasi jurusan teknik sipil membawa dirinya pada banyak kesempatan berkarir yang lebih baik lagi. Petualangan dari Papua beralih ke Ibu Kota Negara Indonesia, yaitu Jakarta. Awal tahun 1997 dirinya melamar kerja di Perusahaan Konsultan dan mendapatkan proyek dari Badan Pendapatan Nasional (Bapenas) untuk peruntukan daerah-daerah tertinggal.

“Untuk membangun infrastruktur daerah tertinggal, mungkin ya ini nasib kami dan dikirim ke Kalimantan Timur. Saat itu masih Kutai, belum menjadi Kutai Kartanegara. Saat itu bahkan Kabupaten PPU masih gabung dengan Kabupaten Paser,” ungkapnya.

Hamdam menjadi pendamping desa, menjadi konsultan pembangunan desa. Ia mendampingi masyarakat untuk mendampingi mulai dari perencanaan hingga pembangunan. Konsepnya pemberdayaan masyarakat, dirinya bukan hanya bersifat teknis tetapi juga penguatan.

Baca Juga:   Inovasi Mall Pelayanan Terpadu, Upaya UPTD PPA PPU Lindungi Korban Kekerasan Perempuan dan Anak

“Saya berkeliling, hingga Tanjung Aru, Lebur Dinding, Lambakan, dan Muara Telake. Kami bisa jalan kaki hingga 15 kilometer, Saya sampai tahun 2003 saat itu,” ungkapnya sambil meneguk kopinya yang tersisa setengah.

Ia telah berpikir tidak mungkin harus pulang – balik ke Sulawesi Selatan saat itu. Sehingga memutuskan untuk menetap dan mengolah lahan di Kabupaten PPU. Hamdam memilih PPU dikarenakan suasana yang kurang lebih dengan di kampungnya, belum lagi banyak perantauan yang asalnya sama dari Sulawesi Selatan.

Alasan lainnya, akses Kabupaten PPU, Hamdam sadari sangat mudah untuknya pulang kampunng. Dekat dengan transportasi luar pulau, baik melalui udara juga laut. Banyak sekali kerabat yang menjadikan dirinya seperti di kampung sendiri dan tidak jauh berbeda.

“Anak saya sudah tiga saat itu, beda-beda tempat kelahirannya. Semua lahir di rantau. Saya memang bukan Putra Daerah tapi saya Bapaknya Putra Daerah,” kelakarnya.

Karir pertamanya di PPU dimulai dengan bersama membangun Kabupaten PPU dengan mereplikasi program yang dirinya sebagai penanggungjawab di program Bapenas RI. Ia membuat program Pengembangan Wilayah Kecamatan Terpadu (PWKT) di masa kepemimpinan Bupati Pertama PPU, Yusran.

“Sehingga itu dianggarkan untuk seluruh desa, hingga 2006,” tambahnya.

Sayangnya, pada tahun 2007 program tersebut bukan lagi dirinya yang menangani dikarenakan program tersebut dihandle pihak lain. Padahal, program tersebut membawa Pak Yusran mendapatkan penghargaan di Bapenas RI, dirinya pun mendapatkan penghargaan sebagai Konsultan Terbaik Se-Indonesia dari Mendagri RI.

“Karena saya mampu meyakinkan Pemda melakukan program tersebut, wah itu sainganna ribuan loh. Itu program bagus, apapun yang diinginkan masyarakat Kami akan penuhi sesuai dengan kebutuhan dan swakelola, melalui Organisasi Masyarakat Setempat (OMS),” tambahnya.

Bahkan, paska pelatihan tersebut banyak dari kader OMS yang mampu menjalankan berbagai program dan menjadi kontraktor juga wakil rakyat. (bersambung…)

Pewarta : Nelly Agustina
Editor : Nicha R

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

BERITA POPULER