PPU – Pembangunan Bandara Very Very Important Person (VVIP) di lokasi Ibu Kota Nusantara (IKN) telah menimbulkan dampak sosial. Salah satunya sengketa terkait ganti rugi tanam tumbuh lahan dan berujung pada penangkapan 9 warga Kelompok Tani Saloloang.
Warga telah dibebaskan, namun mereka masih menyandang status tersangka. Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda, Fathul Huda menyayangkan hal tersebut. Menurutnya, warga dapat mengajukan praperadilan. Hal tersebut akan membuktikan kecacatan proses penangkapan yang dilakukan pada 9 warga tersebut.
“Warga memiliki hak untuk mengajukan praperadilan, karena sangat rawan proses pemidanaan secara sewenang-wenang, seperti apakah sah melakukan penangkapan, penggeledahan dan pemeriksaan,” tambahnya (07/03/2024) saat dihubungi melalui telepon.
Fathul mengatakan seharusnya upaya praperadilan tersebut dapat dilakukan untuk melepaskan status tersangka yang disematkan kepada 9 warga.
Menurutnya, kasus ini merupakan pembungkaman terhadap warga yang kritis terhadap nasibnya. Terlebih situasi proses pergantian tanam tumbuh masih berjalan dan sangat berpotensi mengalami pengancaman terhadap status tersangkanya.
“Ini kan permainan para penguasa, jika kamu melawan lagi sangat gampang menangkap kembali dengan statusnya sebagai tersangka,” tambahnya.
Fathul juga mengatakan seharusnya proses praperadilan harus segera dilakukan sebelum masuk ke tahap 2. Di mana, pelimpahan berkas dan proses peradilan akan segera dilakukan dalam kurun waktu beberapa hari setelah pelimpahan.
“Jadi harus segera digelar praperadilan, jangan sampai sudah sampai tahap selanjutnya dan tidak sempat melepaskan status tersangka tersebut,” tambahnya.
Direktur LBH Samarinda ini juga menegaskan bahwa dalam kasus penangkapan sewenang-wenang ini, 9 petani yang ditangkap dapat mengajukan upaya hukum berupa praperadilan melalui kuasa hukumnya.
praperadilan bukanlah intervensi kepada pihak kepolisian atas proses hukum yang berjalan. Intervensi kepada kepolisian atas proses hukum yang berjalan memang tidak diperbolehkan. Namun praperadilan adalah langkah hukum sesuai KUHAP dan tidak dapat dianggap sebagai langkah untuk mengintervensi proses penyidikan yang tengah berjalan di kepolisian.
“9 petani itu harusnya menggunakan haknya yang disediakan dalam KUHAP berupa praperadilan untuk menguji sah tidaknya penetapan tersangka, penangkapan, dan lainnya yang dilakukan kepolisian, mempertahankan hak berupa praperadilan bukan berarti mengintervensi proses penyidikan yang sedang berjalan. Kalau ada yang beranggapan praperadilan itu mengintervensi penyidikan,ya salah besar itu. 9 petani itu berpotensi kehilangan haknya untuk menguji sah atau tidaknya penangkapan terhadap mereka” tegasnya.
Disinggung terkait dengan narasi Pj Bupati PPU, Makmur Marbun yang mengatakan bahwa kasus penangkapan tersebut menjadi pengamanan, Fathul mengatakan bahwa hal tersebut merupakan upaya pembodohan publik. Istilah pengamanan dan penangkapan merupakan dua hal yang berbeda.
Menurutnya, pengamanan tidak harus memasukkan orang ke dalam rumah tahanan selama beberapa hari, cukup dengan mengamankan 9 warga tersebut di lingkungan rumahnya. Ia menyontohkan pengamanan seperti yang dilakukan kepolisian saat Presiden RI, Joko Widodo datang dan diamankan.
“Pembodohan publik itu, pengamanan itu seperti saat kunjungan Presiden RI ke IKN, itu pengamanan, masa mau disamakan dengan penangkapan prosedurnya,” terangnya.
Terlebih, Fathul jelaskan secara administrasi telah terbit surat penahanan. Jika benar diamankan menurutnya tidak ada langkah penangkapan dan penangguhan penahanan. Menurutnya pernyataan tersebut merupakan bentuk penyesatan, terlebih hal tersebut terlontar dari pj bupati.
“Itu sesat dan menyesatkan, adanya surat penangguhan penanganan dikarenakan adanya penahanan, adanya penahanan ya karena ada penangkapan dan status tersangka, itu kan logika hukumnya,” pungkasnya.
Penulis: Nelly Agustina
Editor: Nicha R