Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.
Pemimpin Redaksi Mediakaltim.com
Terpilihnya Prof Komaruddin Hidayat sebagai Ketua Dewan Pers periode 2025–2028 memberi angin segar bagi dunia pers nasional, termasuk bagi kami di Kalimantan Timur (Kaltim), yang dalam lima tahun terakhir menyaksikan pertumbuhan media online yang sangat dinamis.
Namun, seperti diungkapkan Prof. Komaruddin dalam sambutannya, “ruang publik saat ini penuh dengan sampah-sampah informasi. Tidak jelas mana yang orisinal dan mana yang hanya didikte algoritma.” Pernyataan ini bukan sekadar refleksi, melainkan peringatan atas bahaya informasi palsu dan arus digital yang tak terbendung.
Kekhawatiran serupa juga disampaikan oleh Ketua Dewan Pers periode 2022–2025, Dr. Ninik Rahayu, dalam pidato serah terima jabatannya pada Rabu (14/5). Beliau menegaskan bahwa tugas Dewan Pers tidak hanya sebatas pengawasan etik, tetapi juga memperjuangkan kemerdekaan pers yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Dewan Pers harus menjadi mitra kritis pemerintah,” ujarnya. Ia juga menekankan pentingnya pendidikan bagi jurnalis dan perhatian terhadap kesejahteraan mereka sebagai fondasi profesionalisme media.
Apa yang disampaikan kedua tokoh ini sangat relevan dengan kondisi pers di Kaltim. Pertumbuhan media online di Benua Etam memang menggembirakan. Kota-kota seperti Samarinda, Balikpapan, Bontang, Kutai Kartanegara, dan kawasan penyangga Ibu Kota Nusantara (IKN) seperti Penajam Paser Utara kini dipenuhi portal berita lokal.
Sayangnya, tidak semua media tumbuh dengan fondasi profesional yang kuat. Banyak media belum terverifikasi Dewan Pers, dan tidak sedikit wartawannya belum mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW).
UKW memang bukan satu-satunya tolok ukur profesionalisme, sebagaimana dikatakan Bu Ninik, “UKW hanya bagian kecil dari peningkatan kapasitas jurnalis.” Namun, UKW tetap merupakan bagian penting dari upaya menjaga kualitas pemberitaan. Harapan besar dari daerah seperti Kaltim adalah agar Dewan Pers yang baru ini bisa lebih hadir di daerah—bukan hanya menunggu, tetapi juga proaktif memfasilitasi pelatihan, pendampingan, dan memperluas akses terhadap UKW, terutama bagi jurnalis media lokal yang selama ini bekerja keras tetapi minim dukungan struktural.
Yang juga patut diapresiasi dari periode sebelumnya adalah langkah konkret dalam mengawal pendataan media yang dipimpin oleh Bapak Atmaji Sapto Anggoro. Proses verifikasi media—baik administratif maupun faktual—memang tidak selalu menyenangkan, terutama bagi media yang tidak menjunjung tinggi martabat jurnalistik.
Namun, langkah ini perlu dilanjutkan dan diperluas. Bahkan, Pak Sapto menggagas kerja sama pendampingan media bersama Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) serta Komnas HAM. Ini merupakan pendekatan solutif agar media tidak sekadar diawasi, tetapi juga dibina agar berkelanjutan dan profesional.
Kondisi ruang redaksi yang semakin menyusut juga menjadi sorotan langsung Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, yang turut hadir dalam acara serah terima jabatan Dewan Pers. Dalam sambutannya, ia menegaskan bahwa menyusutnya jumlah jurnalis dan ruang redaksi bukan hanya isu bisnis media, tetapi juga berdampak serius terhadap kualitas demokrasi. Ketika ruang redaksi mengecil, akses masyarakat terhadap informasi yang akurat ikut terancam.
Ia juga mengingatkan pentingnya komunikasi aktif antara Dewan Pers dan seluruh konstituen pers untuk menjaga profesionalisme jurnalistik, termasuk dalam menghadapi tantangan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) yang dapat membingungkan publik dalam membedakan informasi yang benar dan yang palsu.
Di sinilah Dewan Pers dituntut tidak hanya menjaga kode etik, tetapi juga memperjuangkan ekosistem pers yang tangguh secara ekonomi dan idealisme.
Tantangan ke depan jelas tidak mudah. Komaruddin Hidayat bahkan mengaku harus berpuasa media sosial selama sebulan karena merasa terganggu dengan arus informasi yang terlalu gaduh. Namun, sebagaimana ia sampaikan, ia harus menghentikan “puasa” tersebut sejak terpilih memimpin Dewan Pers. “Saya tidak mungkin berpuasa lagi dari media sosial, karena harus tahu arus informasi, termasuk gosipnya,” ungkapnya.
Pernyataan ini menyiratkan bahwa dunia jurnalistik tidak bisa anti terhadap perubahan, tetapi juga tidak boleh kehilangan arah dan nilai-nilai dasarnya.
Kita berharap, Dewan Pers tidak hanya menjadi penjaga etika, tetapi juga katalis perubahan di tengah disrupsi media. Termasuk dalam mengawal sejumlah regulasi seperti RUU KUHAP, RUU TNI, dan RUU Polri yang, meskipun tidak secara langsung menyasar pers, tetap berpotensi berdampak pada kerja-kerja jurnalistik di lapangan.
Harapan dari Kaltim sederhana, namun mendesak: Hadirkan Dewan Pers di daerah, perluas pelaksanaan UKW, fasilitasi pendampingan media, dan jaga keberlanjutan pers yang tumbuh dari semangat lokalitas. Sebab, tanpa pers yang kuat di daerah, demokrasi nasional pun akan pincang. (*)