PPU – Upaya untuk mengalokasikan formasi psikolog klinis di Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) pada pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) kali ini mengalami kendala.
Keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yang memenuhi kualifikasi sebagai psikolog klinis menjadi faktor utama yang menghalangi realisasi formasi tersebut.
Kepala UPTD PPA PPU, Hidayah, mengungkapkan bahwa kurangnya lulusan di bidang psikologi klinis menjadi alasan sulitnya menemukan kandidat yang memenuhi syarat untuk posisi ini.
Menurutnya, kondisi ini menunjukkan tantangan yang dihadapi PPU dalam menyediakan layanan psikologis yang memadai bagi korban kekerasan.
“Di formasi CPNS kali ini memang tidak ada, karena di Balikpapan saja yang saya tahu hanya ada satu di UPTD PPA, dan sekarang informasinya tinggal satu karena langkah masih lulusannya,” ujarnya.
Keterbatasan ini sangat mencolok, bahkan di kota besar seperti Balikpapan. Psikolog klinis merupakan profesi yang membutuhkan pendidikan lanjutan dan spesialisasi yang cukup panjang.
Setelah menyelesaikan pendidikan sebagai psikolog umum, seorang calon psikolog klinis perlu melanjutkan pendidikan selama sekitar lima tahun untuk mendapatkan kualifikasi yang diperlukan.
“SDM-nya memang langka karena dia perlu sekolah lagi selama lima tahun untuk mengambil profesi itu. Jadi, setelah menyelesaikan pendidikan sebagai psikolog umum, mereka harus melanjutkan pendidikan untuk profesi klinisnya,” jelas Hidayah.
Proses pendidikan yang panjang dan intensif ini menjadi salah satu alasan mengapa jumlah psikolog klinis masih sangat terbatas. Hidayah juga menambahkan bahwa sempat ada satu psikolog klinis di Grogot, namun akhirnya pindah ke Balikpapan, menambah kesulitan dalam akses layanan psikologis bagi masyarakat di PPU.
Upaya pengadaan formasi psikolog klinis sangat penting, mengingat kebutuhan layanan psikologis bagi korban kekerasan yang semakin meningkat.
“Kemarin sempat ada satu psikolog klinis di Grogot, tetapi sudah pindah ke Balikpapan. Hal ini membuat layanan psikologis menjadi semakin sulit diakses, dan jika kami ingin merujuk ke Balikpapan, kami harus antri,” tutupnya. (ADV/*SBK)