PPU – Kasus pembunuhan satu keluarga di Babulu, Penajam Paser Utara (PPU) masih menarik perhatian publik. Sorotan juga diberikan oleh Plh Deputi Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Rini Handayani.
Hal itu dia sampaikan saat hadir dalam Rapat Koordinasi PPPA se-Kaltim, Sabtu malam (24/2/2024). Rini menjabarkan berdasarkan UU Perlindungan Anak bahwa baik anak sebagai korban dan juga anak sebagai pelaku, dua-duanya merupakan korban. Tentu hal ini perlu pendalaman terkait perkembangan korban, baik di lingkungan keluarga juga di kehidupan sosialnya.
“Anak sebagai pelaku itu tetap korban. Perlu didalami bagaimana latar belakang keluarga dan sosialnya. Tidak ada anak yang ingin melakukan perbuatan tercela dan melanggar hukum jika dalam dirinya kuat,” jelas dia belum lama ini.
Kemudian, lanjut dia, yang paling bertanggung jawab atas penguatan diri anak adalah keluarga dan lingkungan pendidikan. Di mana, sepertiga waktu anak dihabiskan di rumah dan sepertiganya lagi dihabiskan di sekolah. Sehingga mencipatakan sekolah ramah anak merupakan tugas bersama untuk menghindari anak dari segala bentuk kekerasan.
Termasuk memberikan ruang aman anak dari bullying dan kekerasan. Anak seharusnya selalu diapresiasi dan diberikan pujian atas pencapaiannya. Bukan hanya itu, anak juga harus didengar suaranya agar mengetahui kebutuhan anak.
“Waktu anak dihabiskan di keluarga dan pendidikan. Jadi mendengarkan dan mengapresiasi anak juga memberikan ruang aman anak itu penting,” terangnya.
Rini juga menjabarkan bahwa sepertiga lainnya waktu anak juga dihabiskan di ruang-ruang publik. Sehingga tanggung jawabnya dibebankan pada pemerintah dan juga partisipasi masyarakat. Menurutnya, sangat diperlukan membangun fasilitas yang ramah terhadap anak.
Perilaku positifnya dapat diawali dari orang dewasa di sekitarnya. Jika orang-orang dewasa berperilaku positif maka anak-anak akan turut mencontoh perilaku tersebut.
“Awalnya dan tanggung jawabnya harus dibebankan di orang dewasanya dahulu. Nanti akan berjalan seiring dengan perubahan perilaku anak,” jelasnya.
Rini juga menegaskan pada sistem peradilan pidana anak tidak membenarkan memberikan hukuman mati atau seumur hidup. Karena setiap anak berhak memiliki masa depan. Penanganannya tidak dapat disamakan dengan hukuman orang dewasa.
Namun, jika terjadi pengasuhan dan penelantaran anak yang berdampak pada perilaku anak, maka kesalahannya terdapat pada orang tua. Hal tersebut perlu pendampingan dan sosialisasi terus-menerus agar kesadaran disetiap orang tua terbangun.
“Iya kesalahannya jatuh pada orang tua. Perlu pendampingan dan sosialisasi terus-menerus,” jelasnya.
Rini kembali menegaskan walaupun anak sebagai pelaku, pendampingan secara penuh harus diberikan. Termasuk di dalamnya, UPTD PPA harus melakukan memberikan hak pendidikan dan kesehatan.
Terkait dengan etik penyebaran identitas anak, Rini menegaskan bahwa hal tersebut telah diatur sesuai dengan perundang-undangan. Seharusnya Aparat Penegak Hukum (APH) harus menyelidiki dan menindak tegas para penyebar identitas anak.
“Memang begitu, dalam menyelesaikan satu persoalan anak itu yang menyelesaikan harus satu kampung, harus dari hulunya,” jelasnya.
Rini menjelaskan bahwa desa ramah perempuan dan peduli anak harus didorong. Hal tersebut sudah jelas dorongan dari Pemerintah Pusat, dimana setiap desa diperhatikan bagaimana pola asuh setiap keluarganya, termasuk menyiapkan regulasi terkait menciptakan desa yang ramah anak.
Menurutnya, perlu langkah evaluasi dari lembaga yang bertanggung jawab atas pendampingan anak jika identitasnya tersebar. Kemungkinan para pengampu tersebut masih awam atau unsur kesengajaan.
“Perlu dong langkah evaluasi, bisa saja masih sangat awam atau ada unsur kesengajaan,” pungkasnya.
Penulis: Nelly Agustina
Editor: Nicha R