Oleh : Aat Surya Safaat
Siapa sangka sebuah buku berjudul “Diplomasi Santri” yang mengkaji peranan para pemimpin ulama Indonesia dalam menyelesaikan berbagai konflik agama di dunia menjadi bahan diskusi akademis di kampus ternama, Universitas Yale di Amerika.
Buku tersebut juga menjadi salah satu koleksi Yale University Sterling Memorial Library. Bahkan bukan itu saja, buku setebal 303 halaman itu telah menjadi koleksi Library of Congress di Washington DC dan New York Public Library.
“Secara ragawi aku pergi. Namun butir-butir pemikiranku tertinggal dan tersimpan rapi di perpustakaan negeri Paman Sam,” kata Penulis buku tersebut, Dr. Arifi Saiman, M.A., seorang diplomat yang baru menyelesaikan tugasnya selaku Konsul Jenderal Republik Indonesia (Konjen RI) New York.
Dalam kaitan ini, Erik Harms, Ketua Pusat Kajian Asia Tenggara Universitas Yale saat bedah buku Diplomasi Santri di Universitas Yale di New Haven Connecticut pada 31 Agustus 2022 mengapresiasi terbitnya buku itu.
Menurut Harms, buku tersebut sangat menarik terkait bagaimana peran santri dalam menyelesaikan misi diplomasi di Asia Tenggara dan menciptakan solusi atas terjadinya konflik yang sangat keras di wilayah itu.
“Saya berharap untuk belajar lebih banyak hal tentang diplomasi santri ini,” katanya dalam bedah buku yang dihadiri para mahasiswa post doctoral dan akademisi di salah satu perguruan tinggi swasta terkemuka di Amerika itu.
Dalam bukunya yang sudah dipublish oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama itu Dr. Arifi menjelaskan, kaum santri yang kesehariannya berpenampilan sederhana, bahkan terkesan kolot dan tradisionalis justru sejatinya merupakan kumpulan manusia cerdas dan berilmu, namun tetap tawadhu (rendah hati, tidak sombong).
Di balik keluhuran sifat dan perilaku kaum santri tersebut mereka memiliki kemampuan luar biasa dan mumpuni di luar keahliannya (selain di bidang agama). Salah satunya di bidang diplomasi.
Dalam konteks sumbangsih di bidang diplomasi, kaum santri setidaknya telah menorehkan “tinta emas”, antara lain melalui Komite Hijaz pada 1920-an dan melalui misi diplomasi membantu penyelesaian konflik di Thailand Selatan pada dekade pertama abad ke-21.
Khusus dalam misi perdamaian di Tahiland Selatan, PBNU ketika itu turun langsung dibawah kepemimpinan Ketua Umumnya, KH Ahmad Hasyim Muzadi (almarhum).
Sebagai sebuah soft power diplomacy, diplomasi santri itu sendiri hadir dan mulai berkiprah di bumi Nusantara pada abad ke-20 melalui Komite Hijaz, beberapa dekade sebelum Indonesia merdeka. Komite Hijaz notabene menjadi cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) pada 31 Januari 1926.
Komite itu dibentuk kalangan ulama di Indonesia untuk meminta penguasa baru di Arab Saudi yang mendukung faham Wahabi dibawah kepemimpinan Ibnu Sa’ud agar umat Islam di Indonesia tetap dapat melaksanakan ajaran agama dengan mengikuti salah satu mazhab Ahlussunnah wal jama’ah versi Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i atau Hambali.
MISI DAMAI SANTRI
Kiprah santri di dunia diplomasi kembali hadir melalui diplomasi perdamaian Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada 2005-2006, yakni memenuhi keinginan Pemerintah Thailand dibawah Perdana Menteri Thaksin Shinawatra untuk memediasi proses penyelesaian konflik antara Pemerintah dengan masyarakat Muslim Patani di Thailand Selatan.
Pertimbangan strategis Pemerintah Thailand dalam konteks ini adalah keberadaaan Nahdlatul Ulama sebagai organisasi massa Islam yang berhaluan moderat dan sangat berpengaruh serta adanya persamaan budaya dan tradisi antara masyarakat Melayu Muslim di Thailand Selatan dengan praktek keagamaan Nahdlatul Ulama di Indonesia.
Di samping di Thailand, PBNU juga telah melakukan langkah-langkah diplomasi terkait penyelesaian konflik Palestina-Israel-Lebanon serta konflik di Afganistan, meski menghadapi tantangan yang lebih kompleks serta mempengaruhi hasil diplomasinya.
Khusus di Indonesia, kaum santri telah memberikan kontribusi penting pada masa perang kemerdekaan. Pada era ini para santri bersama pejuang kemerdekaan lainnya secara gagah berani terjun ke medan perang melawan kaum penjajah. Pertempuran heroik di Surabaya pada 1945 merupakan peristiwa pertempuran besar yang menjadi saksi heroisme para laskar santri pejuang.
Semangat membara mereka untuk mengusir kekuatan kolonial Belanda yang ingin kembali menduduki Ibu Pertiwi tidak terlepas dari adanya pengaruh Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari dengan fatwanya Hubbul wathan minal iman (cinta tanah air adalah sebagian dari iman).
Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari tanggal 22 Oktober 1945 merupakan momentum sejarah yang sangat penting bagi kaum santri. Di era kekinian momentum bersejarah tersebut diabadikan sebagai sebagai “Hari Santri Nasional” (HSN) yang perayaannya diselenggarakan setiap tanggal 22 Oktober.
“Sebagai bagian dari keluarga santri, Alhamdulillah, saya menyambut baik kehadiran buku Diplomasi Santri karya seorang diplomat karier sekaligus pemerhati isu kesantrian,” kata Wapres KH Ma’ruf Amin dalam Kata Pengantar pada buku yang ditulis Dr. Arifi Saiman itu.
Menurut mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu, sesuai dengan judulnya yang mengandung kata “santri”, buku tersebut menyuguhkan peristiwa diplomasi yang melibatkan kaum santri sebagai pelaku diplomasi.
Sementara itu politisi Dr. (HC) Zulkifli Hasan yang pernah menjadi Wakil Ketua MPR (kini Menteri Perdagangan) dalam kata pengantarnya di buku itu mengharapkan buku tersebut dapat menjadi a living document yang bermanfaat untuk memberikan update terkait kontribusi kaum santri dalam membantu terwujudnya perdamaian dan ketertiban dunia.
Kemudian, apa kata para tokoh nasional lainnya tentang buku Diplomasi Santri karya Dr. Arifi Saiman itu? Politisi M Hatta Rajasa yang pernah menjadi Menristek, Menhub, Mensesneg, den Menko Perekonomian menyatakan, selama ini santri sering dianggap berjarak dengan diplomasi.
Padahal, menurut dia, sejatinya sejak prakemerdekaan peran santri dan kyai (ulama) sangat besar, seperti yang dilakukan oleh KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Agus Salim, Buya Hamka, dan masih banyak lagi. Mereka adalah para ulama yang melakukan diplomasi untuk mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Di masa kini, legacy para diplomat santri terdahulu dilanjutkan oleh Pak Arifi sesuai dengan tantangan zamannya. Sebagai Konsul Jenderal RI New York, beliau banyak melakukan inovasi, khususnya digitalisasi layanan bagi WNI. Banyak kisah inspiratif lainnya di buku ini yang harus anda baca. Sekali lagi, selamat untuk Pak Arifi,” katanya.
Lain lagi kata Imam di Kota New York, Dr. Shamsi Ali. Menurut tokoh Islam di Amerika kelahiran Sulawesi Selatan itu, buku Diplomasi Santri menjadi salah satu bukti nyata dari kredibilitas dan kualitas santri.
Menurut Presiden Nusantara Foundation USA itu, santri bukan saja sebuah kata yang bermakna pelajar, tetapi sekaligus gambaran karakter bangsa yang memadukan antara kedalaman ilmu dan wawasan agama serta kebangsaan yang tak terpisahkan.
Apresiasi yang sama disampaikan oleh Dr. Anwar Fuady, Ketua Umum Persatuan Artis Sinema Indonesia (PARSI) yang menyatakan bahwa buku Diplomasi Santri memberikan sudut pandang kaum santri di luar kehidupan dunia pesantren yang ternyata memiliki ketertarikan dan kemampuan serta peran penting dalam dunia diplomasi.
Lalu bagaimana kata akademisi tentang buku karya Dr. Arifi Saiman itu? Prof. Hikmahanto Juwana, SH., LL.M., Ph.D., Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang juga Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani Cimahi menilai, diplomasi tidak lepas dari kearifan lokal yang dibawa oleh agen hubungan internasional yang disebut diplomat.
Menurut Hikmahanto, sebagai seorang diplomat yang telah malang melintang di berbagai negara, Arifi Saiman membawa warna dalam berdiplomasi. Warna dimaksud adalah warna santri dimana Arifi pernah menjadi bagian dari keluarga besar para santri.
Interesting, inspiring, motivating
Sementara itu Eep Saefulloh Fatah, Founder dan CEO PolMark Indonesia (Pusat Riset dan Konsultasi Political Marketing) menilai, buku Diplomasi Santri menunjukkan bahwa para santri diplomat merupakan bagian sangat penting dari penyegaran dan pembaharuan diplomasi dan politik luar negeri Indonesia belakangan, hari ini, dan ke depan.
Sebab, menurut pangajar di Jurusan Ilmu Politik FISIP UI itu, selain menjalani profesionalismenya dengan hati, para santri diplomat juga merawat etika, moralitas, dan religiusitas dalam pikiran, ucapan, dan tindakan diplomasinya.
Buku Diplomasi Santri itu sendiri secara garis besar terbagi ke dalam dua bagian pembahasan. Bagian pertama membahas peranan dan kiprah diplomasi kaum ulama pesantren Nusantara pada abad ke-20 yang menampilkan sepak terjang diplomasi kalangan ulama pesantren melalui Komite Hijaz yang sangat melegenda.
Bagian kedua buku itu membahas peranan dan kiprah diplomasi Nahdlatul Ulama pada abad ke-21 yang berfokus pada peran bridge builder (pembangun jembatan) dari jam’iyah terbesar di Indonesia, baik dari aspek alasan di balik pelibatan Nahdlatuul Ulama maupun dari sisi proses implementasinya.
Khusus terkait misi diplomasi Nahdlatul Ulama, pembahasannya didahului dengan peretasan akar masalah konflik berkepanjangan di wilayah Patani Thailand Selatan berdasarkan perspektif sejarah dan perspektif kebijakan Pemerintah Thailand terhadap kawasan itu.
Disebutkan, sebagian isi dan bahasan dari buku Diplomasi Santri itu disadur dari disertasi penulis pada Program S3 Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (FIKOM UNPAD) Bandung.
Penulisnya, Dr. Arifi Saiman adalah seorang diplomat karier yang lahir di Dusun Kampung Baru, Desa Tempeh Tengah, Kecamatan Tempeh, Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur.
Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di kampung halamannya di Tempeh, lalu melanjutkan pendidikan sekolah menengah atas di Surabaya. Kemudian dia melanjutkan studi Strata 1 (S-1) di Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember dan lulus pada 1988.
Setelah diterima di Departemen Luar Negeri (sekarang Kementerian Luar Negeri) penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan Strata 2 (S2) di School of Politics, the Flinders University of South Australia, Adelaide Australia.
Sementara itu pendidikan Strata 3 (S-3) ditempuh penulis di FIKOM UNPAD Bandung setibanya kembali di Tanah Air dari penugasan di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Dakar Senegal.
Buku Diplomasi Santri yang ditulisnya jelas merupakan bacaan yang interesting (menarik), inspiring (menginspirasi), dan motivating (memotivasi), khsususnya bagi para diplomat muda atau kalangan santri yang berminat berkarier di dunia diplomasi atau tertarik menjalankan peran citizen diplomacy di masa mendatang.
Terlebih buku yang ditulis Dr. Arifi di sela kesibukannya sebagai Konjen RI New York ini pun telah menjadi salah satu koleksi di Yale University Sterling Memorial Library, Library of Congress di Washington DC dan New York Public Library.
Last but not least, sebagai masukan bagi penulis, khusus untuk cetakan mendatang, ada baiknya kalau judul buku ditambah atau diubah menjadi “Diplomasi Santri Dalam Menangani Konflik di Thailand Selatan”.
Tidak lain karena sebagian besar isi buku ini membahas tentang dimensi dan pusaran konflik Patani di Thailand Selatan serta bagaimana Nahdhatul Ulama memberi andil bagi penyelesaian konflik politik berkepanjangan di wilayah itu. (*)
*) Aat Surya Safaat adalah Ketua Bidang Luar Negeri Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Kepala Biro Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA New York 1993-1998, dan Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA 2016.